DAMPAK PERUBAHAN POLA PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI INDONESIA

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang sangat pesat secara tidak langsung memacu pembangunan nasional yang pesat pula. Selama tiga–empat dekade terakhir ini, pembangunan nasional telah membawa perubahan besar, tidak hanya pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tetapi juga pada pola penggunaan lahan DAS. Perubahan pola penggunaan lahan DAS akan mengganggu keseimbangan fungsi-fungsi DAS itu sendiri. Hal ini akan membawa dampak yang cukup serius bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Dampak seperti apa yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya?

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara di dam, danau, waduk atau sungai yang lebih besar. Sub-DAS sering juga disebut sebagai Daerah Tangkapan Air atau Catchment Area. Hampir setiap DAS yang dilalui oleh sungai-sungai besar di Indonesia memiliki Balai Pengelolaan (BP). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi DAS. Kelalaian dalam mengelola DAS bisa berakibat fatal karena keseimbangan fungsi DAS terganggu.

Penggunaan lahan DAS dibagi menjadi beberapa bagian antara lain : hutan, biasanya berada di daerah hulu; kawasan budidaya, perkebunan, pertanian; pemukiman; rawa, waduk atau danau, bantaran sungai; kawasan industri dan lain-lain. Hujan yang turun dalam kawasan DAS akan mengalami kejadian yang berbeda sebelum bermuara di laut.

Pertama, air hujan yang jatuh di kawasan hutan akan menjadi uap kembali (eveporasi), mengalir urut batang (stemflow) turun ke tanah atau jatuh langsung dari dahan, ranting dan daun langsung ke tanah. Umumnya, lapisan permukaan tanah hutan terdiri dari bahan organik (horizon O) yang berasal dari dekomposisi bahan tanaman, maka air yang sampai ke tanah akan mudah diresapkan ke dalam tanah. Air yang jatuh ke tanah akan ditahan oleh lapisan tumbuhan bawah, berupa semak dan perdu, serta lapisan humus sehingga sedikit merusak partikel tanah.

Kedua, lahan pertanian biasanya digarap, disiangi, dipupuk secara intensif sehingga tanaman bawah bersih. Akibatnya air hujan yang jatuh ke tanah dapat langsung mencerai-beraikan partikel tanah di permukaan lahan dan terjadilah erosi. Hujan yang jatuh langsung dari langit ke permukaan lahan akan mencerai-beraikan partikel tanah dengan energi yang lebih besar sehingga erosinya akan makin besar. Saat menjelang musim tanam, lahan biasanya dibersihkan sehingga saat hujan datang tetapi tanaman belum mampu melindungi tanah maka erosi akan terjadi. Air yang meresap ke dalam tanah lebih sedikit dari pada yang mengalir sebagai aliran permukaan tanah (run-off) yang mampu menyebabkan erosi dan mengalir ke sungai bersama sedimen yang terangkut. Berbeda dengan lahan pertanian, lahan perkebunan tanaman keras memiliki fungsi hampir seperti tanaman hutan. Tegakan tanaman menghalangi tanah dari pukulan air hujan sehingga akan terserap ke dalam tanah. Volume run-off pun akan terhambat oleh tegakan tanaman perkebunan begitu pula dengan sedimennya.

Ketiga, pemukiman di perkotaan umumnya terdiri dari bangunan kedap air: atap, jalan aspal, jalan beton, saluran drainase beton, halaman beton sehingga air tidak diberi kesempatan untuk meresap ke tanah. Hal ini menyebabkan semua hujan yang turun di kawasan ini akan dialirkan ke sungai utama dan bermuara di laut, waduk atau danau, berikut air limbah yang ikut terbawa. Semakin luas wilayah pemukiman maka semakin meningkatkan volume air yang masuk ke sungai utama. Saat musim penghujan tiba, itu berpotensi menimbulkan banjir. Meskipun demikian, erosi di kawasan pemukiman relatif lebih kecil dibanding dengan kawasan budidaya dan pedesaan.

Keempat, air hujan yang jatuh di kawasan waduk, danau, dam atau sungai akan menambah langsung volume air yang dicirikan dengan naiknya permukaan air. Secara langsung tidak menyebabkan erosi. Namun, jika mengalir maka akan mengikis dinding/tebing saluran/badan air dan mengangkutnya ke hilir.

Di Indonesia, keadaan DAS yang sekarang ini berbeda dengan dahulu. Ledakan penduduk menyebabkan perubahan penggunaan lahan DAS. DAS yang semula kawasan hutan menjadi kawasan pemukiman dan budidaya. Saat ini, DAS, khususnya di Jawa, didominasi oleh kawasan budidaya yang mencapai 50-85% dan kawasan pemukiman yang sudah mencapai 30%. Sedangkan kawasan hutan dibawah 20%.

Perubahan kawasan hutan menjadi kawasan pemukiman dan budidaya akan menyebabkan bencana alam berupa banjir, erosi, tanah longsor, kekeringan, dan lain-lain. Kawasan budidaya yang terlalu luas menyebabkan aliran air permukaan semakin banyak jumlanya karena air hujan yang turun lebih banyak yang tidak terserap. Hal ini akan menyebabkan banjir. Tanaman budidaya yang tidak dapat menutupi tanah dari hantaman air hujan menyebabkan erosi. Apalagi jika hujan langsung mengenai tanah, maka erosinya akan semakin besar. Erosi secara besar-besaran yang terjadi di daerah bantaran, daerah rendah maupun di daerah curam berpotensi terjadinya tanah longsor. celakanya adalah jika kawasan tersebut merupakan pemukiman maka bukan tidak mungkin akan jatuh korban jiwa.

Kawasan hutan yang jumlahnya semakin sedikit, hanya bisa menyerapkan air dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan. Hal itu akan mengakibatkan kekeringan karena cadangan air tanah terlalu sedikit. Jika musim kemarau tiba, kekeringan akan bertambah parah. Selain itu, vegetasi hutan yang jumlahnya sedikit akan meningkatkan aliran air di sungai karena hanya sedikit yang bisa diserap oleh tanah. Dalam jumlah yang besar dan aliran air yang relatif lebih cepat, tebing saluran/badan air akan mudah tererosi. Erosi dalam waktu lama dan besar bia mengakibatkan tanah longsor.

Tinggalkan komentar